A. Definisi Uang dalam Islam
Uang dikenal dalam beberapa istilah antara lain;
Nuqud (bentuk jamak dari naqd). Sebagian ulama mengartikannya sebagai “semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi, baik dinar emas, dirham perak, ataupun fulus tembaga”. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa nuqud adalah “segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai”. Sementara Qal’ah Ji mengatakan bahwa nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan kemudian diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas. Menurutnya, uang harus memenuhi setidaknya dua syarat, pertama, substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung, melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat. Kedua, dikeluarkan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan uang seperti bank sentra.
Atsman (bentuk jamak dari tsaman). Memiliki beberapa arti, antara lain qimah, yakni nilai sesuatu, dan “harga pembayaran barang yang dijual” yakni sesuatu-dalam bentuk apapun- yang diterima oleh pihak penjual sebagai imbalan dari barang yang dijualnya. Sedangkan dalam tataran fiqh, kata itu digunakan untuk menunjukkan uang emas dan perak.
Fulus (bentuk jamak dari fals), dalam pengertian logam bukan emas dan perak yang dibuat dan berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai uang dan pembayaran.
Sikkah (bentuk jamak dari sukak). Pertama, stempel besi untuk mencap (mentera) mata uang. Kedua, mata uang dinar dan dirham yag telah dicetak dan distempel.
Umlah. Pertama, satuan mata uang yang berlaku di suatu negara atau wilayah tertentu, misalkan di Indonesia Rupiah, di Malaysia Ringgit. Kedua, mata uang dalam arti umum sama dengan nuqud.
B. Sejarah Perkembangan Uang dan Sistem Moneter dalam Islam
Sejarah Perkembangan Uang di Dunia Islam
Mata uang yang digunakan bangsa arab di Hejaz pada masa jahiliyah adalah Dinar emas Heraclius, Byzantium dan Dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, serta sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. Dirham perak terdiri dua macam yaitu; pertama, Sauda’Wafiyah (Dirham Baghli) yag timbangannya adalah 8 (delapan) Daniq. Kedua, Dirham Thabari (Thabariyah “Utuq) yang timbangannya 4 (empat) Daniq.
Uang yang digunakan oleh penduduk Mekkah untuk transaksi jual beli pada umumnya masih dalam bentuk tibr (butiran, belum dicetak sebagai mata uang). Selain uang, transaksi yang dilakukan bangsa Mekkah menggunakan beberapa macam timbangan seperti mitsqal. Satu Mitsqal berbobot 21 3/7 qirath, dan bobot 10 dirham adalah 7 mitsqal.
Bangsa Quraisy menimbang perak dengan timbangan yang disebut dirham dan menimbang emas dengan timbangan yang disebut dinar. Setiap 10 timbangan dirham sama dengan 7 timbangan dinar. Timbangan lainnya adalah sya’irah yang memiliki bobot 1/60 (satu per enam puluh) timbangan dirham; uqiyah adalah 40 dirham; dan nuwat adalah berbobot lima dirham.
Timbangan lainnya yang digunakan adalah Rithl (sama dengan 12 Uqiyah), Uqiyah (sama dengan 40 dirham), Nishsh atau Nasysy (sama dengan setengah Uqiyah, yaitu 20 Dirham), Nuwah (sama dengan 5 Dirham) Daniq (sama dengan seperenam Dirham atau delapan seperlima butir [habbah] kacang sya’ir sedang), Qirath (sama dengan setengah Daniq), dan Habbah (berbobot satu butir kacang sya’ir sedang)
Ketika Islam datang, kegiatan dan sistem transaksi ekonomi yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat diakui oleh Nabi Muhammad SAW. Sikap tersebut tergambar pada hadis Nabi Muhammad SAW: antara lain: “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam yang (dilakukan antara) satu jenis (disyaratkan harus) sama (beratnya, dan dengan cara) tangan ke tangan. Apabila (yang diperjualbelikan itu) berbeda jenis, lakukanlah jual beli itu sekehendakmu apabila dengan cara tangan ke tangan”(HR Muslim dari ‘Ubadah bin Al-Shamit). Dari keterangan tersebut Umat Islam pada masa Rasulullah adalah Dirham Perak Persia dan Dinar Emas Romawi dalam bentuk aslinya, tanpa dilakukan pengubahan atau pemberian tanda tertentu.
- Masa Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW tetap diberlakukan sebagaimana adanya, tanpa mengalami perubahan.
Masa khalifah Umar, awal pemerintahannya tetap memberlakukan sistem yang telah berjalan pada masa Abu Bakar. Pada tahun 18 Hijriyah atau tahun keenam dari pemerintahannya, ia mulai memasukkan beberapa kata Arab pada uang Persia dan Romawi yang beredar seperti kata “Bismillah”, Al-Hamdulillah”, “Bismi Rabbi”, Muhammad Rasulullah” dan kata-kata serupa lainnya yang menunjukkan simbol Islam. Hal tersebut menjadi langkah pertama dalam rangka pembuatan uang yang dikhususkan bagi negara Islam (daulah Islamiyah).
- Masa Khalifa Utsman dan ‘Ali kebijakan pembuatan uang masih sama dengan apa yang telah dirintis oleh Khalifah Umar RA, bahkan lebih dari iu, Utsman membubuhkan kata “Allahu Akbar” pada uang yang berlaku.
Masa Bani Umaiyyah, pembuatan uang masih tetap mengikuti jejak para pendahulunya, yakni memberlakukan mata uang Sasani dan Byzantin dengan membubuhi beberapa simbol Islam, seperti nama khalifah, dan membiarkan simbol non-Islam pada uang tersebut. Orang pertama yang menerbitkan Dinar dan Dirham untuk ditetapkan di negara Islam adalah Khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 H. Al-Hajjaj pada akhir tahun 75 H membuat dirham sendiri, Dirham Baghli. Abdullah bin Zubair melakukan hal yang sama dengan membubuhkan namanya (Abullah Amir al-Mu’minin). Demikian pula saudaranya Mush’ab bin Zubair ketika menjadi Gubernur Irak, dengan membuat dirham khusus di wilayahnya. Pada tahun 76 H, proyek pembuatan uang khusus Islam, yang bersih dari unsur dan simbol-simbol asing mulai dilakukan. Abdul Malik membuat Dirham perak Islami yang pada salah satu sisinya dituliskan Surah Al-Ikhlas dan pada sisi lainnya dituliskan simbol tauhid yang beratnya 6 (enam) Daniq. Ia juga membuat dinar perak Islam yang timbangannya sebesar satu mitsqal. Selain itu mencetak uang dari tembaga yang dinamakan fulus, yang namanya diambil dari uang tembaga Romawi (follis)
Sistem Moneter dalam Islam
Umar Chapra (1995) mengungkapkan tiga sasaran utama dari kebijakan moneter yang ada dalam sistem ekonomi Islam, yaitu:
Tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi (full employment and economic growth)
Keadian sosio-ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata (socio-economic justice and equitable distribution income and wealth)
Stabilitas nilai uang (stability in the value of money)
Pada sistem moneter konvensional, stabilitas harga menjadi sasaran utama. Sementara, tujuan kebijakan moneter syariah tidak terbatas pada pencapaian stabilisasi harga, tetapi juga keadilan seperti yang dijelaskan Chapra, yaitu full employment, keadilan sosial dan stabilitas nilai tukar. Full employment dalam artian penggunaan secara penuh semua sumber daya ekonomi, baik alam, manusia dan uang. Uang sebagai media penyimpan kekayaan (store of value) jangan sampai ‘menganggur’ dalam memberikan kemanfaatan. Untuk itu kebijakan moneter harus mampu menyediakan instrumen yang dapat digunakan oleh pelaku ekonomi dalam menyalurkan uangnya ke sektor riil, ketika sektor riil tidak bisa secara langsung dimasuki melalui mekanisme normal di pasar. Stabilitas nilai tukar dan harga sesungguhnya menjaga stabilitas aktivitas ekonomi agar akses pasar khususnya bagi kelompok masyarakat kecil dapat terjaga, sehingga tidak ada masyarakat yang menemui kendala dalam ekonomi. Sementara, sasaran keadilan sosio-ekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan (wealth-income distribution) pada dasarnya berarti memberikan kesempatan pada semua kelompok masyarakat untuk terlibat dalam ekonomi dan mengambil manfaat dari ekonomi khususnya pemenuhan kebutuhan.
C. Fiqih Uang dalam Al-Quran dan Hadist
Dodik Siswantoro (2002) mengungkapkan, fokus perdebatan ada pada isu pembatasan jenis mata uang, sehingga kelompok dan pakar dalam Islam terbagi dalam dua golongan yaitu:
Golongan yang hanya membatasi mata uang pada emas-perak.Tokoh pada golongan ini di antaranya: Abu Hanifah, Abu Yusuf, Mujahid, Nakha’I, Nabhani dan Baqir Sadr. Alasan yang dilontarkan oleh mereka misalnya persetujuan Rasulullah SAW merupakan hukum syariah yang kemudian membatasi uang pada jenis emas dan perak, begitu juga seluruh khulafaur rasyidin yang menyetujui uang jenis ini, indikasi yang disebutkan dalam Al-Qur’an tentang emas-perak sebagai mata uang (9:34; 3:75,91; 12:20; 18:20) dan emas secara alami memang merupakan uang.
Golongan yang tidak membatasi mata uang hanya pada emas dan perak. Tokoh pada kelompok ini antara lain: Syaibani, Ibn Taymiyah, Ibn Hazm, Laith ibn Sa’ad, Al Zuhri, Yusuf Qardawi dan Muhammad Taqi Usmani. Dengan alasan bahwa persetujuan Rasulullah bukan berarti membatasi uang pada jenis ini saja. Umar Ibn Khattab pernah melontarkan uang dari kulit unta (meskipun tidak disetujui Majelis Syura dengan alasan akan mengurangi populasi unta, bukan atas alasan kewajiban pada emas-perak sebagai uang). Kaidah syar’i yang menyebutkan semua boleh hingga ada pelarangannya dalam Qur’an dan Sunnah (syariat)
Sumber: Juhro, M. Solikin, Darsono, dkk. 2018. Kebijakan Moneter Syariah dalam Sistem Keuangan Ganda Teori dan Praktik. Jakarta. Tazkia Publishing.